Minggu, 14 Januari 2024 (Stola Hijau)
Tujuan : Agar Jemaat menebarkan kebaikan dan menghadirkan damai sejahtera Tuhan bagi dunia
Mengapa Tuhan menciptakan dua telinga dan hanya satu mulut? Bukankah ini sebenarnya sebagai tanda bagi manusia untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara? Mendengar bukan sekadar membuka telinga dan membiarkan ada gelombang suara masuk ke telinga. Mendengar yang sesungguhnya adalah proses memahami, mengerti, dan melakukan.
Kisah pemanggilan Samuel sebagai hamba Tuhan terjadi ketika usia Samuel masih muda, dimana pada masa itu firman TUHAN dan penglihatan-penglihatan jarang terjadi (ay. 1). Samuel muda dididik oleh imam Eli, seorang imam yang bertugas di Bait Allah, sekalipun keadaan imam Eli sebenarnya tidak terlalu baik karena fungsi penglihatannya yang sudah berkurang (ay. 2). Samuel muda dididik secara tradisional, dimana Samuel muda ditugasi untuk menjaga tabut Allah dan memelihara pelita Allah dengan cara mengisinya tiap- tiap sore dengan minyak supaya pelita tersebut menyala sepanjang malam. Pelayanan tersebut menuntut Samuel muda untuk tidak jauh dari bait suci TUHAN, sehingga Samuel muda selalu tidur disitu. Menarik, bahwa teks menceritakan Samuel muda tidur di bait suci TUHAN, tempat tabut Allah (ay. 3). Biasanya imam yang harus berada di tempat itu. Mengapa harus seorang imam? Agar imam tersebut tahu dan mendengar, apabila sewaktu-waktu penyataan Allah disampaikan di tempat maha suci tersebut. Melalui imam, Allah menyatakan kehendak-Nya. Samuel muda bukan imam, namun dia tidur di bait Suci TUHAN. Dengan demikian, bila teks menceritakan bahwa Allah menyatakan kehendak-Nya kepada Samuel muda, maka sebenarnya itu adalah sebuah pertanda bahwa nantinya Samuel muda akan menjadi orang yang diperkenan oleh Tuhan.
Samuel muda dalam kondisi sudah tidur di dalam Bait Suci, ketika ada suara yang memanggil-manggil dirinya. Samuel muda belum mengenal siapa itu Tuhan (ay. 7), sehingga Samuel muda mengira itu suara imam Eli, sehingga sampai tiga kali Samuel muda harus menghampiri imam Eli (ay 8a). Pada akhirnya Imam Eli sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Tuhanlah yang memanggil Samuel muda (ay. 8b). Imam Eli menasehati Samuel muda agar merespon panggilan Tuhan dengan mengucapkan : “Berbicaralah Tuhan, sebab hamba-Mu ini mendengar.” (ay. 10) Samuel kecil belum mengenal suara Allah, karena pada saat itu firman Tuhan belum pernah dinyatakan Allah padanya secara langsung, sehingga Samuel tidak mengetahui bahwa yang memanggilnya adalah Allah. Begitu juga dengan kita saat ini, apakah kita bisa mendengarkan suara Tuhan? Jangan bayangkan suara Tuhan yang nun jauh di sana yang tidak bisa digapai dengan telinga manusia. Suara Tuhan sangat dekat dan tidak pernah lupa mengingatkan kita untuk berbuat baik. Pertanyaannya adalah bagaimana kita mengenal suara Tuhan?. Untuk mengenali suara Tuhan, kita perlu menyediakan waktu bersama dengan Dia setiap hari. Kita mengenal suara-Nya karena memiliki hubungan yang dekat dengan-Nya. Rajin membaca firman-Nya dan tetap lekat dengan persekutuan. Itulah yang mempertajam telinga dan hati kita untuk mendengar suara-Nya. Tetapi, ada kemungkinan kita tidak mendengar dan mengenali suara Tuhan di tengah-tengah kenyataan hidup yang bising dengan banyak suara-suara yang kita hadapi setiap hari, entah karena sempitnya waktu, lelah karena sibuk mengejar keinginan dan ambisi.
Mendengar suara Tuhan adalah kita mau merendah- kan diri mendengar dengan seksama, taat, hormat dan tulus pada apa yang disampaikan Tuhan kepada pribadi kita sebagai umat manusia. Kita perlu mengenali dengan cermat Firman Tuhan sehingga ketika Tuhan berbicara kepada kita atau menuntun kita akan jelas bahwa itu adalah suara-Nya. Tuhan dapat saja berbicara secara lisan kepada orang, namun yang pasti Tuhan berbicara melalui Firman-Nya dalam Alkitab; dan melalui Roh Kudus kepada hati nurani kita dapat juga melalui keadaan, juga melalui orang-orang lain.
Selanjutnya dalam kisah Samuel tidak hanya memotivasi dan menginspirasi kita belajar mendengar, tetapi juga belajar berbicara kebenaran. Samuel kecil itu mendengar kebenaran yang pahit dari Tuhan, yaitu hukuman Tuhan kepada imam Eli yang membiarkan anak-anaknya (juga imam) dalam perlakuan korban persembahan dan tindakan yang tidak sopan di pelataran Bait Allah (1 Sam. 2:12-17). Samuel belajar mengatakan kebenaran yang pahit itu kepada Eli, bapa rohani, guru yang sangat dihormatinya. (Mengharukan, seburuk- buruknya Eli, kita membaca bahwa imam tua itu mau mendengarkan kebenaran yang pahit yang disampaikan Samuel).
Hal ini menyadarkan kita bahwa sama seperti Samuel disuruh mengatakan yang benar bukan hanya kepada orang asing dan jauh karena itu tidak berdampak apa-apa kepada hidup kita, tetapi justru kepada orang yang sangat dekat dengan kita, memiliki pertalian darah dengan kita, sahabat, atasan, dan bahkan orangtua kita sendiri. Firman Tuhan saat ini mau mengajarkan kepada kita bahwa, makin kita menggunakan waktu secara intim dengan Tuhan dan Firman-Nya makin mudah kita mengenali suara Tuhan dan pimpinan-Nya dan menyuarakan kebenaran itu dengan melakukannya dalam kehidupan kita. Panggilan Allah terhadap Samuel, juga berlaku bagi kita. Melalui Firman Tuhan hari ini kita diajak untuk menyadari akan keberadaan hidup kita yang telah menjadi milik kepunyaan Allah. Kita telah ditebus dan diselamatkan oleh-Nya. Kita adalah kepunyaan Allah yang berharga. Namun nilai berharganya hidup kita akan semakin tinggi ketika kita juga mau turut aktif untuk melayani-Nya, mewartakan cinta kasih Tuhan bagi dunia, membawa dampak positif bagi lingkungan sekitar dengan cara menyampaikan kebenaran sesuai dengan firman Tuhan. Kita sebagai Umat Allah dipanggil untuk tidak hanya memikirkan kesalehan pribadi, membutakan mata terhadap realitas buruk yang terjadi di sekitar kita. Tentu saja itu semua harus kita lakukan dengan penuh hikmat kebijaksanaan, tanpa harus terkesan menjadi hakim bagi sesama kita. Sebagaimana ungkapan bijak berikut ini: “Kejahatan dapat merajalela bukan karena banyaknya orang jahat yang melakukannya, melainkan juga karena banyaknya orang baik yang hanya berdiam diri dan membiarkan kejahatan itu terjadi.” Mari bergerak, menebarkan kebaikan, menghadirkan damai sejahtera Tuhan bagi dunia. Tuhan memampukan dan memberkati kita semua. Amin